Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tausiyah K.H. Imam Haromain: Memperindah Kearifan DIri dengan Rendah Hati

Bismillah. Alhamdulillah.
Kisah Danau Toba yang sangat terkenal itu, ternyata bermula dari raibnya sikap rendah hati. Syahdan, ada seorang pemuda miskin yang hidupnya sehari-hari ada di sawah ladang. Suatu ketika, tiba-tiba ada seekor ikan besar yang meloncat ke tempat yang biasanya dipergunakan untuk mengangkut air. Pemuda itu sangat terpesona melihat ikan yang begitu jelita.
Maka disentuhlah ikan tersebut. Dan terjadilah suatu keajaiban yang sangat luar biasa. Seketika ikan itu berubah menjadi seorang putri dengan paras menawan. Singkat cerita, sang pemuda itu berkehendak menyuntingnya. Bagai gayung bersambut sang putri pun menerima lamarannya. Tapi ada satu syarat yang harus dipenuhinya; sepanjang hidup dirinya tak akan pernah mengungkapkan asal-muasal sang putri.
Pernikahan pun terjadi. Lalu dikaruniailah keduanya seorang bocah. Sayangnya, buaian hati itu beranjak menjadi anak yang bebal dan rakus. Sehari-hari kerjanya cuma makan dan terus saja makan. Suatu hari, saat sang bapak pulang dari sawah ladang, perutnya meradang. Rasa lapar benar-benar menjarah dirinya lantaran kerja kerasnya. Tapi beapa terkejutnya dia saat mendapati bahwa jatah makannya ludes disantap anaknya.
Dengan amarah yang memuncak dia memaki-maki anaknya: “Dasar anak keturunan seekor ikan! Terkutuklah kau anak ikan yang rakus!” sumpah serapahnya meluap melampaui kesadaran diri. Maka rahasia pun tersingkap. Sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi; istri dan anaknya sirna begitu saja. Dan alam pun menjadi murka. Gempa tiba-tiba saja melanda. Tanah yang diinjaknya bergulung-gulung menelan dirinya. Dengan suara bergemuruh tanah itu anjlog kebawah. Maka terjadilah sebuah danau besar, yang kemudian hari dinamai dengan Danau Toba.
Tentu saja itu hanyalah sekedar legenda. Namun di balik kisah itu, terdapat pesan nilai yang tersirat. Seandainya sang pemuda miskin itu sanggup memegang erat janji, tak dijarah perasaan emosi dan bisa mengendalikan diri, petaka kelam itu pun tak akan datang menimpa. Dan ketiga hal itu bisa melekat menjadi busana diri, jika dia memiliki sikap rendah hati. Dalam bahasa agama, hal itu diistilahkan dengan kata tawadhu'. Ketawadhu'an, akan membuat orang cerdas dalam memenej emosi. Dan kedewasaan mengontrol emosi, bisa membikin orang pintar mengendalikan diri. Pengendalian diri inilah yang membuat orang mengerti arti sebuah janji.
Sikap rendah hati, juga akan menyelamatkan orang dari buhul-buhul keangkuhan dan kesombongan. Sebab munculnya sifat jumawa, tepat pada saat diri kita tengah kehilangan rasa tawadhu'. Ah, betapa noraknya ketika seseorang dijarah oleh sifat angkuh, rasa jumawa dan sikap kesombongan! Bagai angin kencang, sifat itu akan mengibas-ngibaskan rasa kebanggaan, keinginan untuk pamer, serta kehendak merendahkan orang lain, sehingga membuat diri jadi besar kepala, telinga bebal, pikiran dungu dan hati yang buntu. Maka jangan pernah biarkan, bila sejumput "debu" ketakabburan mulai menempel dalam diri.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW sangat menekankan, agar umatnya senantiasa mendekap erat sikap tawadhu'. Sabda beliau: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendahkan hati, sehingga tidak ada di antara kalian yang saling meremehkan dan saling menindas satu dengan lainnya.”
Seseorang yang telah memiliki sikap tawadhu', tentu akan memunculkan rasa saling menghormati dan sikap saling menghargai. Maka akan saling sama-sama sadar terhadap posisinya masing-masing. Sehingga tidak mungkin saling menyakiti. Tak ada pula yang merasa terzalimi – apalagi direndahkan dan dijatuhkan. Itulah sebabnya kenapa orang yang rendah hati, justru kian tampak budi luhurnya dan makin tinggi akhlaknya.
Begitu pun sebaliknya, apabila sebuah masyarakat telah terkotori debu-debu kesombongan, maka di mana-mana senantiasa bermunculan forum olok-olok, podium umpatan dan panggung caci-maki. Lebih tragis lagi, jika hal itu sudah merambah ke lembar cetak dan layar elektronika – melalui tajamnnya tulisan dan culasnya kata-kata. Dan masyarakat yang semacam itu, hingga kapan pun akan selalu tergilas oleh cepatnya arus perubahan roda kemajuan.
Melihat fenomena yang kian memprihatinkan akhir-akhir ini, kiranya perlu sekali mentradisikan sikap tawadhu' di masyarakat kita. Sebab bukankah orang yang sombong itu bagai menggenggam bara api? Sementara orang yang rendah hati, justru kian memperindah kearifan diri.
Wallahu a'lam bish-showab.

*) Tausiyah Islam ini ditulis oleh K.H. Imam Haromain Asy'ari, M.Si., Pengasuh Asrama Sunan Ampel Putra, Pon. Pes. Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang.