Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tausyiah K.H. Imam Haromain: Memerdekakan Diri dari Beragam Nafsu

Bisimillah. Alhamdulillah.
Ada sebuah Hadits Rasulullah SAW yang mengatakan, bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan manusia atas 8 perkara; yang 4 perkara untuk para penghuni surga dan 4 perkara untuk penghuni neraka. Perkara untuk penghuni surga adalah wajah yang manis, lisan yang fasih, hati yang taqwa dan tangan yang dermawan. Sedangkan perkara untuk penghuni neraka adalah wajah yang jelek, lisan yang kotor, hati yang keras dan tangan yang bakhil.
Untuk mendapatkan keempat hal tanda penghuni surga – dan sekaligus menghindar dari empat hal sebagai tanda penghuni neraka tersebut, dapat diraih melalui jalan puasa di bulan Ramadhan sebab dengan berpuasa, wajah seseorang akan tampak berbinar cahaya karena jauh dari maksiat. Dengan puasa pula tangan menjadi ringan untuk memberi derma. Dan dengan puasa akan membimbing hati seseorang menuju ketakwaan.
Sebagaimana yang tertuang pada surah al-Baqarah ayat 183; bahwa diwajibkannya berpuasa itu agar diri manusia menjadi insan yang bertaqwa. Tentu saja itu akan terjadi pada orang yang melakukan puasa dengan sungguh-sungguh dan dengan sebenar-benarnya berpuasa. Jadi  bukan puasanya orang yang berpuasa secara sembarangan. Sebagaimana yang pernah disebutkan pada sebuah Hadits Nabi SAW: “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali hanya haus dan lapar. Dan berapa banyak orang yang shalat malam, tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari shalat malamnya itu kecuali cuma sekedar begadang saja.”
Seseorang yang tergolong ke dalam kelompok orang yang benar-benar berpuasa, jika dirinya telah menundukkan hawa nafsunya setelah berpuasa. Imam al-Ghazali mengkategorikan yang demikian ini ke dalam puasa khusus, yakni orang yang dengan puasanya berusaha semaksimal mungkin meninggalkan segala ucapan dan perbuatan yang tidak direstui-Nya.
Para ulama' tasawuf merangkum nafsu ke dalam empat hal; nafsu makan, nafsu tidur, nafsu berbicara dan nafsu bergaul dengan sesamanya. Dari keempat nafsu inilah, sehingga berkembang menjadi beragam nafsu yang lainnya. Untuk memerdekakan dari nafsu-nafsu tersebut, para ulama' membuat empat "formula"; sedikit makan dengan berpuasa, sedikit tidur dengan memperbanyak ibadah malam, sedikit berbicara dengan lebih banyak diam, dan sedikit bergaul dengan cara uzlah atau i'tikaf menyendiri ber-taqarrub kepada-Nya.
Al-Baqarah 183 - Berpuasa itu agar manusia menjadi bertaqwa.
Puasa yang telah menaklukkan nafsu-nafsu inilah, yang membuat seseorang untuk senantiasa bersabar dan tawakal. Dengan landasan kesabaran itulah, dirinya dapat menghadapi berbagai tantangan dan ujian hidup yang berupa kesempitan, kesulitan yang melilit, pahit getirnya kehidupan, serta berbagai problem menumpuk yang menjadi tanggung jawabnya.
Maka dengan kesabaran – hasil dari benar-benar berpuasa – itulah, dirinya dapat menjalani semua itu dapat terhindar dari berbagai dorongan dan keinginan nafsu syahwatnya. Maka benar kata Rasulullah, bahwa Ramadhan adalah merupakan bulan kesabaran. “Ramadhan adalah bulan kesabaran. Dan kesabaran balasannya adalah surga.” (HR. al-'Uqaili, Ibnu Huzaimah, al-Baihaqi, al-Khatib dan al-Asbahani). Dalam surah al-Baqarah ayat 249 disebutkan; “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
maka dengan kesabaran itulah Nabi SAW menghadapi segala bentuk caci-maki, hinaan yang menimpanya secara bertubi-tubi, rasa sakit akibat himpitan dan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy. Namun pada saat beliau berhasil menundukkan kota Mekkah, beliau pun memasukinya kembali tanpa perasaan marah atau keinginan untuk balas dendam – sehingga tak setetes pun darah yang menitik.
Suatu ketika ada seorang sahabat yang datang meminta nasihat kepada Nabi SAW: “Berilah aku nasihat ya Rasulallah.” Maka Rasul pun menjawab: “Jangan marah.” Lantas orang itu mengulanginya lagi hingga beberapa kali. Dan beliaupun tetap menjawabnya: “Jangan marah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bersabda pula Nabi SAW: “Tidaklah disebut orang kuat yang dia kuat dalam bergulat. Akan tetapi orang yang kuat itu, adalah yang sanggup menahan amarahnya ketika dalam kondisi marah.”
Wallahu a'lam bish-showab.

*) Penulis adalah K.H. Imam Haromain Asy'ari, M.Si., Pengasuh Asrama Sunan Ampel Putra.