Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jiwa - Jiwa Yang Bertaburkan Kasih Sayang

Sebutan lain dari Ramadhan sebagai bulan kasih sayang, ternyata bermula dari sebuah kisah. Pada saat perang Yarmuk usai berkecamuk, seorang sahabat yang bernama Ibnu Jahm berkeliling mencari sepupunya yang sedang terluka parah. Lalu setangkup air yang sejak tadi didekapnya erat-erat itu, segera disodorkannya kepada keponakannya tersebut – yang setiap jengkal tubuhnya penuh dengan goresan luka dan lumuran darah.

Tapi keponakannya itu justru menampiknya dan berkata: “Berikanlah air ini kepada lelaki itu,” sambil jemarinya menuding kepada lelaki yang dimaksudkannya tersebut. “Sebab dia lebih membutuhkannya dari pada aku. Lantaran dia tengah berjuang antara hidup dan kematiannya.” Lalu Ibnu Jahm pun menuju ke lelaki itu. Setelah diulurkannya setangkup air tersebut, lelaki itu pun juga menampiknya sambil berkata: “Berikanlah air itu kepada saudaraku seiman seperjuangan yang berada di sana itu. Sebab dia kelihatan lebih membutuhkannya ketimbang aku.”

Maka sahabat itu pun pergi mendatangi pria yang dimaksud oleh lelaki itu. Ketika diberikan air terebut, pria itu pun juga melakukan hal yang sama. Maka Ibnu Jahm pun berpindah dari lelaki yang satu menuju ke pria yang lain. Dan akhirnya dia kembali lagi kepada sepupunya, yang kala itu sudah dalam keadaan wafat; pulang ke rahmatullah menemui Dzat yang senantiasa menaburkan kasih sayang kepada para hambaNya.

Sepenggal cinta yang terjadi pada bulan Ramadhan itu, sungguh merupakan sebuah kisah kehidupan yang sangat luar biasa. Beribu makna pun dapat kita serap dari cerita yang dapat menggulirkan air mata itu. Batapakah luas ruang kasih sayang yang menghampar di dada para mujahid itu; bak luas pandang lautan yang tak bertepi. Keteduhan kasih sayang yang menyelimuti jiwanya itulah, sehingga membuat mereka lebih rela mengulurkan santunan kepada saudaranya yang lebih membutuhkan – meskipun dirinya sendiri sebenarnya juga memerlukannya.

Kerelaan untuk menepis kebutuhannya sendiri demi orang lain yang lebih memerlukannya ini, sungguh merupakan satu sifat yang amat teristimewa. Kiranya tak mungkin jika sifat itu tumbuh begitu saja, tanpa ada guyuran rahmat kasih sayangNya yang telah disematkan pada jiwa-jiwa mereka. Maka momentum Ramadhan inilah, ruang candradimuka guna menempa diri kita untuk meraih kekuatan mentalitas, kesantunan moralitas dan ketinggian spiritualitas kerelaan tersebut. Asal dalam melakukan ritualitas Ramadhan, semata dilandasi niat liwajhillah; hanya karena dan demi mencapai ridhaNya semata.

Jiwa-jiwa seperti inilah, yang akan ditaburi olehNya beribu-ribu anugerah. Yang pada sepuluh awal permulaan Ramadhan, jiwanya akan diguyur dengan mata air awwaluhu rahmatun. Dan pada pertengahannya, dirinya akan dibasuh dengan sejuknya air maghfirah ampunanNya. Dan pada hari-hari penghujungnya, akan terbebaskan dari api neraka yang meranggas.

Taburan kasih sayangNya selama Ramadhan itulah, yang membuat jiwanya meluap-luap lantaran rasa kasih sayang yang melimpah-ruah dari kedalaman hatinya yang terdalam. Sehingga selepas Ramadhan, rahmat kasih sayang itu masih saja melekat dan telah menjadi bagian yang dimiliki dirinya. Jiwa-jiwa semacam inilah, yang mendorong manusia untuk selalu merasa peduli pada sesamanya. Begitu mudah dirinya mengulurkan kasih sayang, begitu gampang dirinya untuk memaafkan.

Kini terasa sirna dari jiwanya, perasaan berat untuk menyantuni orang-orang yang lagi tergencet hidupnya. Sehingga setiap kali ada kesempatan, setiap kali itu pula dirinya mengulurkan tali pembebasan bagi orang-orang yang hidupnya terilit oleh kesulitan-kesulitan. Sungguh, ini merupakan anugerah rahmat dari Dzat Yang Maha Kasih dan Maha Sayang yang begitu mengagumkan. Itulah sebabnya, pada saat-saat Ramadhan seperti ini Rasulullah SAW senantiasa menyerukan, agar kita banyak-banyak melantunkan pujian kepada Dzat Yang Maha Pemaaf.

Itulah sebabnya, ketika Aisyah r.a. mengajukan sebuah pertanyaan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, seandainya aku tahu bahwa malam itu adalah merupakan Malam Seribu Bulan, lantas apa yang sebaiknya aku lakukan?” Maka Nabi SAW pun menjawab: Ketika engkau mengerti kalau malam itu adalah malam Lailatul Qadar, maka hendaknya engkau memperbanyak bacaan:

Yaa Allah, sungguh Engkau adalah Dzat yang pemaaf. Engkau teramat suka terhadap jalan permaafan. Maka bersenantiasalah untuk memaafkanku.”

Wallahu a’lam bish-shawab!

*) Tausiyah Islam ini ditulis oleh K.H. Imam Haromain, M.Si., Pengasuh Asrama Sunan Ampel Putra Pon. Pes. Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang.
Gambar diambil dari flickr.com.