Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesakralan di Balik Budaya Kampungku yang Kian Musnah

Terlahir di desa Bringin – Kediri, tepatnya di jalan Brawijaya, yang mana kata nenekku nama ini diambil dari nama kampus yang dibangun oleh para mahasiswa. Sehingga dari situ telah mengajariku tentang banyak mitos, yang merupakan mitos menarik yakni tidak boleh keluar di waktu surup ( waktu menjelang magrib). Karena keluar di waktu ‘’surup’’ akan mengundang banyak setan dan hal –hal yang buruk. Waktu surup adalah waktu  untuk masuk ke rumah dan mulai mengaji, sehingga ketika magrib mulai datang, kampungku tampak sepi dan begitu damai. Sementara waktu ini digunakan untuk berkumpul bersama keluarga.
image: commons.wikimedia.org

Listrik untuk jalan pun baru di pasang sekitar tahun 1999, sebelumnya cahaya jalan hanya dibantu oleh lampu dari teras rumah. Sementara di Tahun 90an ketika aku di lahirkan,  rumah –rumah yang ada di kampungku masih sangat sedikit, masih banyak pohon dan bambu. Kebetulan rumahku dikelilingi pohon, yakni di belakang rumahku  ada pohon sawo, nangka, jambu monyet, mangga, dan yang paling indah adalah kebun di sebelah timur rumahku. Di sana ada sekitar sepuluh  pohon mahoni raksasa,  seperti hutan kecil walau di malam hari tempat ini sangat mencekam, tapi di pagi hari dan di siang hari tempat inilah surga bermain ku dan teman- temanku.  

Permainan petak umpet, lompat tali, kasti, dan bentengan sering kita nikmati di tempat ini. Banyaknya pohon-pohon yang tua dan besar, bunyi bambu yang bergemerisik, yang kadang  terdengar seperti suara ratapan  semakin memperkuat kemistisan di kampungku. Dan keangkeran  suasana inilah yang membuat masyarakat tampak jinak di malam hari. Berbeda dengan kehidupan sekarang, semakin marak nya manusia yang ‘’hidup’’ di malam hari, malam tampak sangat gemerlap  dan tidak sunyi lagi. Kedamaian malam tak ada lagi, yang ada adalah para pencari  kesenangan yang seliweran.

Ternyata tidak hanya suasana mistis yang aku rasakan, tapi keangkeran di kampung ini diperkuat  dengan banyaknya jenis makhluk halus yang diceritakan oleh Mak ku. Dengan gayanya yang juga mencekam, Nenek ku ini juga semakin membuatku percaya bahwa setan atau makhluk halus itu memang ada. Ada genderuwo ( mahkluk buruk rupa yang tubuhnya seperti raksasa, rambutnya panjang berantakan, matanya melotot berwarna merah, hidupnya di pohon sawo yang besar) kata Mak ku. Mak ku bilang “ Makanya jangan keluar di malam hari karena di kampung ini banyak pohon sawonya”. Yang paling mengerikan dari genderuwo ini adalah dia suka mengambil istri orang lain yang cantik, dan dinikahinya, kata orang – orang setempat. 

Ada gundul plecek, Makhluk halus ini hanya berupa kepala , bersarang di pohon kelapa dan suka jatuh di depan orang yang suka seliweran di tengah malam. Ada wewe gombel, makluk perempuan yang hidupnya di pohon bambu ini suka mengambil anak-anak yang suka main di waktu magrib. Diceritakan Mak ku kalau makhluk halus ini tidak berpakaian, tubuhnya hanya ditutupi rambutnya yang panjang. 

Ada pocong, setan ini ada karena pihak keluarga yang ditinggalkan tidak membuat hajatan dan lupa membuka ikatan kain kafannya. Cerita-cerita mistis ini memang cerita yang selalu hidup di kampungku, dan orang-orang selalu mempercayainya. Kampung ku memang kampung yang mistis, Kemistisan dan mitos akan  cerita di kampung ku inilah yang selalu membuatku rindu, dan aku bersyukur hidup di daerah ini ( Bringin – Kediri ).  Kemistisan yang memberi ruang hidup pada makhluk gaib, semakin kuatnya kepercayaan kampung pada ke-Ghaiban ini, maka akan semaki kuat pula ritual do’anya. Kemistisan dan ke-Ghaiban lah yang membuat kita ingat akan  pundi-pundi do’a. Jika rasa akan ke-Ghaiban itu hilang, maka bisa saja doa pun juga hilang. Dari sinilah aku mempelajari apa itu makna do’a.

Di kampung ku ketika aku masih berusia sampai dua belas tahun, masjidnya hanya ada satu, dan satu Musholla kecil. Memang  pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, serta diskusi kitab tidak hidup di kampungku. Seingatku jarang aku menemukan penduduk di kampungku shalat berjamaah di Masjid atau di Musholla, namun mereka menjalankan shalatnya di rumah, karena beberapa rumah memang punya tempat shalat untuk keluarga sendiri, yang kebanyakan diletakkan dekat dengan dapur. 

Acara untuk pendalaman Islam nya dalam pembacaan kitab suci  belum kuat. Berbeda dengan ritualnya, Banyak ritual-ritual adat yang masih hidup, acara menyambut kelahiran, ( telon-telon, selapan, sepasar, tujuh bulanan, turun tanah), selametan untuk kematian, serta baca yasin selama tujuh hari berturut-turut. Dan akan dilanjutkan lagi ketika hari yang ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu. Selain itu bikin nasi tumpeng untuk merayakan maulid nabi, menjelang ramadhan, penutupan ramadhan, dan setelah shalat ID. Tak terlewatkan hari kemerdekaan Indonesia, Nasi tumpeng ini juga dibawa dari setiap rumah tangga, dan akan diletakkan di gang jalan. 

Setelah berdoa bersama, maka kita akan makan bersama dengan menukar makanan terlebih dahulu. Jika terlalu banyak maka kita akan membawanya ke rumah, namun kita  tidak bisa membawa makanan yang kita bawa sendiri dari rumah. Besoknya, ibu-ibu akan bertamu dan mengembalikan tempat makanan yang sebelumnya dibawa orang lain. Pertemuan tanpa sengaja akan  membuat kita saling mengenal, dan akan tahu rasa masakannya. Hal ini akan menjadi perbincangan para ibu. Banyaknya ritual yang menghadirkan makanan inilah yang membuat ibu-ibu di kampungku bisa memasak, kalau masakannya tidak enak maka akan ketahuan. Di kampungku ini memang masih tampak sekali keakrabannya.

Para perempuan di kampungku ketika tahun 90an masih jarang yang menggunakan jilbab, ibaratnya belum lazim buat mereka. Untuk perempuan muda,  kebanyakan dari mereka hanya  menggunakan rok  yang panjangnya sampai lutut, atau pergelangan kaki dengan baju berkerah serta berlengan pendek. Dan kebanyakan dari mereka mempunyai rambut panjang, sementara perempuan yang lebih tua masih menggunakan kebaya. Seingatku pendalaman agama Islam belum terlalu kuat di kampungku, tapi lebih banyak cerita mitosnya dari pada cerita tentang Nabi dalam agama Islam. Padahal di kampungku waktu itu penduduknya  semuanya beragama islam, dan hanya ada satu yang Kristen. 

Berbeda dengan era modern, Memasuki tahun 2000  para perempuan di kampungku sudah banyak yang menggunakan jilbab, dan berpakaian gamis. Ada pengajian hari Kamis dan Minggu, apalagi untuk kaum para ibu menggunakan jilbab sudah menjadi kewajiban  ketika mereka  bepergian. Didukung dengan adanya televisi yang sering mempertontonkan para Ustadz, yang mana memberikan dakwahnya. Para ibu-ibu pun menirukan gaya baju Ustadzahnya dan para jemaahnya. Ibuku juga masuk dalam salah satunya dari mereka.

Masuk di tahun 2000an, budaya-budaya yang berupa ritual-ritual sudah mulai memudar. Sekarang sudah tidak ada lagi acara berdoa dan makan bersama. Pendidikan yang mulai berkembang di kampungku mempengaruhi pemikiran dan kepercayaan mereka tentang ke-Gaiban. Mereka sudah tidak lagi percaya lagi akan ke-Ghaiban dan mitos yang ada. Teknologi yang masuk, membawa penduduk lebih mempercayai tentang hal yang tampak kasat mata. Alat – alat teknologi dianggap lebih sakral dari pada ritual doa. Sementara alat teknologi dijadikan dewa sakti yang akan menyelamatkan kehidupan mereka. Persaingan mulai tampak,  gaya kehidupan kota mulai masuk, Bahkan uang pun menjadi impian.  

Sekarang mereka berebutan menjadi kaya. Jika dulunya anak-anak di kampungku terbiasa meneruskan pekerjaan orang tuanya, entah pedagang di pasar, petani, maupun  tukang. Namun sekarang anak-anak yang lulus SMA pergi ke kota SURABAYA, JAKARTA, YOGYA agar bisa memperbaiki ekonomi. Orang tua di kampungku merasa malu jika melihat anaknya masih tinggal di rumah, dan hanya meneruskan usaha orang tuanya, pun mereka menganggap itu tidak berkembang. Hal ini cukup disayangkan, karena hal inilah yang membuat hilangnya konsep konsistensi, dan akan menghilangkan tradisi. Lebih parahnya lagi mereka ke kota hanya sebagai buruh pabrik atau perusahaan. 

Pendidikan yang ada seolah mengikis kehidupan desa. Pelajaran yang ada  di kampung nampak terlupakan oleh buku-buku pelajaran di sekolah. Para siswa –siswa yang terlalu banyak membaca buku pelajaran sekolah, imbangi dan bukalah mata hati untuk melihat kampungmu kembali, Pelajarilah lagi kampungmu. Dalam ritual –ritual yang pernah hidup sebelumnya, Ada do’a dan hikmah yang selalu menghidupkan kampungmu. Sadarlah.... kawan
Kontributor : ARBAMEDIA TEAM - Kediri