Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggali Lubang Tragedi di Rumah Sendiri

Ketika bersama dengan para sahabatnya, tiba-tiba Nabi Muhammad SAW mengucapkan kata "Amin" tiga kali. Seorang sahabat yang mendengarkan lalu menanyakannya, apa gerangan yang membuat Beliau mengucapkan kata “amin... amin... amin...” ? Jawab Sang Rasul agung: “Baru saja malaikat Jibril melantunkan doa tentang tiga hal yang kiranya patut aku mengamininya: “Ya Allah, semoga Engkau melaknat anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Ya Allah, semoga Engkau melaknat suami istri yang enggan untuk saling memaafkan. Ya Allah, semoga Engkau melaknat sesama Muslim yang tidak mau pula saling memaafkan.”

Biji yang bisa kita petik dari hadits tersebut; pertama, jangan sekali-kali menjauhkan anak dari garis ketaatan. Setiap upaya perkembangan fisiknya, haruslah beriring pula dengan perkembangan mentalitas, intelektualitas dan spiritualitasnya. Terlalu memanjakan pertumbuhan fisik anak tanpa penyertaan yang lainnya, itu sama halnya bahwa kita tengah menabung bencana yang sementara masih tertunda. Dus, anak yang dibesarkan tanpa ajaran etika ketaatan kepada orang tua, bisa bermakna bahwa kita tengah menggali lubang tragedi di rumah sendiri.

Ketaatan anak terhadap orang tua, dalam Islam menduduki posisi yang sangatlah mulia. Al-Qur'an sendiri meletakkan ketaatan tersebut, berada di bawah ketaatan hamba kepada Allah Sang Penciptanya. Sehingga perjuangan yang sungguh-sungguh untuk membentuk generasi yang taat, menjadi sesuatu yang niscaya.

Di dalam al-Hadits bahkan ditekankan, bahwa ridha Allah itu terletak pada kerelaan orang tua. Dan kemurkaan-Nya pun tergantung pada kemurkaan orang tua jua. Jika orang tua murka, tentu akan membuat sang anak bernasib durjana. Kedurjanaan itulah yang membikin anak hidup tertatih dan terlunta-lunta. Kesulitan demi kesulitan akan menjeratnya di setiap jengkal kehidupannya.

Biji kedua yang bisa kita petik, hendaknya setiap pasangan suami istri hidup dengan saling berendah hati. Meskipun kesalahpahaman dan pertengkaran kecil kerap terjadi dalam berumah tangga, namun kerendah-hatian akan membuat keduanya mudah untuk saling memaafkan. Hal itu bisa dibentuk dari cara komunikasi yang santun, dengan belajar memahami kekurangan pasangannya, sapaan yang menenteramkan hati, atau dengan ucapan yang lemah lembut.
Keluarga Harmonis - Jangan sampai dirusak oleh kesalahan kecil
Nabi SAW tak pernah berkata kasar kepada istri-istrinya. Apalagi berkata lantang, mengolok-olok, membentak dan memukul mereka. Kalau bepergian meskipun dekat, beliau selalu berpamitan kepada istrinya. Sayangnya, hal-hal semacam ini seringkali tak cukup diperhatikan dan bahkan kita merasa tak peduli sama sekali. Sehingga tak sedikit para suami yang tak tahu menahu perihal kepergian istrinya.

Padahal yang demikian itu sangatlah dekat dengan berhembusnya api fitnah. Hilangnya sikap penghargaan terhadap pasangan, akan mengakibatkan terjadinya keretakan dalam rumah tangga. Dan itu berarti kegagalan dalam membentuk sebuah keluarga sakinah yang penuh limpahan mawaddah wa rahmah. Tapi apa pun yang tengah menimpa sebuah rumah tangga, hendaknya kedua pasangan tersebut bergegas untuk saling memaafkan dan memulai kembali kehidupan dengan irama yang baru. Dan jangan lagi gemar menerjang rambu-rambu agama yang telah digariskan.

Seorang istri yang taat pada suaminya, nyatanya memiliki nilai manfaat buat orang-orang yang ada di dekatnya. Seperti cerita yang pernah terjadi di masa Rasulullah masih hidup. Alkisah, seorang sahabat meminta kepada istrinya agar tak keluar kemana-mana selagi dirinya masih belum pulang ke rumah. Ketika mendengar kabar bahwa orang tuanya sakit, sang istri tersebut tak mau menjenguknya lantaran memegang teguh pesan suaminya. Bahkan ketika mendengar kabar orang tunaya sudah meninggal, dirinya masih saja tak mau beranjak keluar dari rumah kediamannya. Saat berita itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau menjawab: “Allah mengampuni dosa orang tuanya lantaran ketaatan dirinya pada suaminya.”

Sedangkan biji ketiga yang bisa kita petik dari hadits di atas, bahwa kita harus secara terus menerus merekatkan rasa ukhuwah Islamiah. Sebab umat manusia itu, sebagaimana teretera dalam sebuah al-hadits, adalah merupakan umat yang satu. Bagaikan sebuah tubuh, jika bagian yang satu tersakiti maka seluruh bagian lainnya akan meradang pula. Jika umat Islam bersatu, maka akan mejadi sebuah kekuatan dahsyat yang luar biasa.

Maka senantiasalah memperkokoh tali ukhuwah. Dan hindarkan umat dari ajaran-ajaran, persepsi-persepsi sosial, serta tafsir-tafsir keagamaan yang justru akan meretakkan ukhuwah Islamiyah. Dan sebaliknya, tumbuhkan rasa gotong-royong bersama, saling bantu-membantu, saling isi-mengisi dengan tanpa melihat perbedaan kelompok dan firqah-firqah pemahaman. Dengan sikap semacam itulah, kebersatuan umat akan terwujud.

Namun sayangnya, ideologi materialisme terlanjur menggerogoti rasa kebersamaan kita. Sehingga Islam telah menjadi rebutan demi untuk tujuan duniawi. Umat Islam juga dibentur-benturkan demi target kekuasaan kelompok dan ambisi pribadi. Sehingga jumlah umat yang banyak, mereka tak ubahnya seperti halnya buih yang mengapung. Umat Islam mudah rapuh; bergoyang-goyang karena terpaan ombak dan terguling-guling hanya lantaran diterpa tiupan angin kecil.

Semua itu terjadi, karena sesama umat Islam telah merasa berat untuk bisa saling mamaafkan. Seakan mereka tak memiliki nyali untuk memulai meminta maaf dan sekaligus memaafkannya. Begitu mudahnya orang menyakiti, namun begitu beratnya untuk memaafkan. Padahal orang yang mau memaafkan itu sangatlah mulia, serta mendapatkan pahala yang tak terukur. Maka, segera berupayalah untuk saling memaafkan. Sabda Rasulullah SAW: “Tidak ada dua orang Islam yang keduanya bertemu kemudian saling bersalam-salaman, kecuali keduanya diampuni dosanya sebelum mereka berdua berpisah.”
Wallahu a'lam bish-shawab.

*) Tausiyah Islam ini ditulis oleh K.H. Imam Haromain, M.Si., Pengasuh Asrama Sunan Ampel Putra Pon. Pes. Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang.
Gambar diambil dari flickr.com.